Entri Populer

Rabu, 02 Februari 2011

TUGAS SEJARAH SENI RUPA ISLAM DI INDIA

ARSITEKTUR BANGUNAN SENI DI INDIA (SENI RUPA ISLAM DI INDIA)
BELAJAR SEJARAH SENI RUPA INDIA


Sejarah Muslim India memang mengalami pasang-surut. Masuknya Islam di Benua India India terjadi pada masa pemerintahan Kholifah Umayyah, yang mengirimkan tentara Islam di bawah pimpinan Muhammad bin Qasim al Tasqafiy pada 93 H atau 712 M. Namun sebenarnya, sebelum mengirimkan tentaranya ke India, hubungan antara India dan Negara Islam, sudah terjalin dakwah Islam ke India sejak masa Rosulullah.
Dalam buku Islam in India, Prof. Husayin Nairar menceritakan bahwa Maharaja Malabar bernama Kheraman Perumal yang memerintah daerah India Selatan, dari Kanjorakot sampai Tanjung Comorin, telah berangkat ke Arabia dan mendapat kehormatan menemui Rosulullah Saw. Sewaktu pulang kembali ke India, dia membawa tiga orang sahabat nabi sebagai utusan dakwah ke India (muballigh). Yaitu, Syarif bin Malik, Malik bin Dinar, dan Malik bin Habib. Di tangan mereka inilah berkembang dakwah Islam di India Selatan. Sayang sekali, Maharaja itu telah berpulang ke rahmatullah di tengah perjalan yaitu di Zafar.
Berikutnya, langkah perang (jihad) terpaksa dilakukan mengingat begitu kerasnya , raja-raja Hindu menghalangi dakwah Islam di India. Kefanatikan mereka terhadap kemusyrikan sungguh luar biasa. Setelah futuhat, kekuasaan Islam di sana sangat terorganisasi hingga berhasil mendirikan kesultanan di New Delhi. Namun, kesultanan itu diambil-alih Dinasti Moghul pada abad ke-16. Kekuasaan dinasti keturunan Timur Lenk ini berakhir di tangan Inggris pada 1757. Lebih dari seabad, wilayah tersebut dikuasai Inggris. Tuntutan untuk memisahkan diri dari India yang dimotori Muhammad Ali Jinnah mengkristal pada 1940 dengan dibentuknya Liga Islam. Baru pada 1947 Pakistan—yang semula bagian dari India—diakui menjadi negara tersendiri sebagai dominion dalam Persemakmuran Inggris. Selain dalam masalah Kashmir yang berlarut hingga kini, Pakistan dan India sempat terlibat perebutan wilayah Punjab dan Bengal. Pakistan sendiri kemudian pecah menyusul pemisahan diri Bangladesh.
Masa Keemasan Islam
Islam secara politik pernah berkuasa di Benua India . Selama era Islam di India, kondisi umat Islam dan kelompok-kelompok non-Muslim jauh lebih baik. Tidak bisa dipungkiri, bahwa selama era Islam masyarakat India mengalami peningkatan peradaban yang luar bisa. Pengaruh Islam terhadap Benua India (termasuk India sendiri ) sangat besar.
Islam berpengaruh besar pada perubahan keyakinan dan sistem kehidupan di India yang tadinya banyak dipengaruhi oleh Hindu (musyrik). Ajaran Islam datang dengan akidah tauhid yang mengajarkan hanya penyembahan kepada Allah yang Esa. Ajaran Islam juga mengajarkan persamaan manusia di hadapan Allah Swt. Tinggi rendahnya seseorang bukanlah karena keturunan atau rasnya (sebagaimana ajaran sekte dalam Hindu), namun karena ketakwaannya kepada Allah.
Kehadiran Islam berpengaruh terhadap seluruh tatanan kehidupan orang-orang Hindu yang musyrik dan jahiliah. Pada era Islam, terdapat kebangkitan berbagai aspek kehidupan, ekonomi, pendidikan, politik, dan lainnya. Kehadiran Islam di India juga telah mendorong meningkatnya perdagangan yang tadinya lokal menjadi lebih global. Lewat pedagang-pedagang Muslim, perdagangan India menyebar ke Timur Tengah, Mongolia, dan Indonesia di Asia Tenggara.
Seiring dengan berkembangnya perdagangan internasional, penyebaran dan peningkatan sains dan teknologi juga meningkat. Penemuan kincir angin ,yang pada masa itu termasuk teknologi canggih, terjadi pada era Islam. Penggunaan ubin keramik dalam berbagai kontruksi bangunan di India di pengaruhi oleh arsitektur di Irak, Iran, dan Asia Tengah. Barang pecah-belah (yang terbuat dari tanah) banyak diadopsi dari Cina yang dibawa oleh penguasa Mughal. Pada masa pemerintahannya, Sultan Abidin (1420-1470) mengirim pekerja-pekerja yang ahli ke Samarqand untuk mempelajari penjilidan dan penggunaan kertas.
Pada era Islam jugalah berkembang kota-kota industri yang terkenal hingga saat ini. Khurja dan Siwan terkenal dengan industri tembikarnya, Morabadad dengan benda-benda yang terbuat dari kuningan, Mirzapur dengan karpetnya, Firozabad dengan benda-benda gelas, Farrukhabad dengan industri percetakannya, Sahranpru dengan ukiran kayunya, Srinagar dengan ‘papier mache’ (hasil industri yang terbuat dari bubur kertas), dan lain-lain.
Dari segi bahasa, pengaruh bahasa Arab (sebagai bahasa Islam) memunculkan bahasa Urdu. Bahasa ini mempunyai nahu Prakrit dengan perbendaharaan kata Parsi, Arab, dan Turki. Ia ditulis dengan skrip Arab tetapi diubah untuk mewakili bunyi bukan Arab. Contoh-contoh perbendaharaan kata Urdu: wajib, munsyi, dll.
Pengaruh Islam juga tampak dari teknologi bangunan yang mengalami perkembangan yang pesat pada zaman Mughul. Ini tampak, misalnya, pada Gedung Kabuli Bagh di Panipat, Masjid Jami’ di Sambal dan sebuah masjid di Agra. Shah Jahan merupakan ahli bangunan yang terkenal. Salah satu karyanya adalah bangunan Taj Mahal yang banyak dipengaruhi konsep dan gaya Islam. Taj Mahal pun menjadi bangunan yang dikenal sebagai salah satu keajaiban dunia.
Namun demikian, masa kegemilangan tersebut berubah menjadi penderitaan saat era Islam berakhir dan penjajah Barat masuk ke India. Diawali dengan masuknya The British East Company (1600- 1858), Inggris mulai melakukan penjajahan di India. Inggris kemudian membentuk pemerintahan kolonialnya di India (1858-1947). Seruan jihad pun dilakukan oleh kaum Muslim di India untuk mengusir Inggris.
BOX :
Sultan Zainal Abidin Sang Arsitek
Para sejarahwan juga menulis bahwa Sultan Zainal Abidin adalah seorang kepala pemerintahan yang handal. Pada masanya, para pelaku kejahatan dibuat tak berkutik. Mereka yang diketahui berbuat kriminal mendapat sanksi berat dari negara. Selain itu, Sultan juga dikenal sebagai negarawan yang ulung. Dengan sejumlah pasukan besar, ia berhasil menaklukkan Punjab, Tibet Barat, Ladhak dan kawasan Balti, Kulu dan Ohind (Hazara). Sultan juga berhasil menggalang hubungan dengan kawasan Islam lain, seperti Mesir dan Makkah.
Dikabarkan, Wali Makkah dan dan Wali Mesir mengirimkan berbagai macam hadiah kepada Sultan. Penguasa Gwalior, yang mengetahui Sultan Zainal Abidin menyukai musik, mengirimkan barang-barang berharga bagi perkembangan musik India. Selain itu, Sultan juga melakukan pertukaran duta dengan sejumlah negara seperti Tibet, Sindh, Gujrat, Malwa, dan Delhi.
Sultan Zainal Abidin juga dikenal sebagai seorang arsitek yang luar biasa. Ia membangun kota baru yang sekarang disebut Nowshedar. Ia juga amat memperhatikan kepentingan para aparat pemerintahan. Di antaranya, ia membuatkan sejumlah rumah yang megah bagi para pegawai pemerintah, anggota istana, dan para ulama.
Dikabarkan, ia membangun istana dengan 12 ruang utama di dalamnya. Di setiap ruang utama tersebut terdapat aula, koridor, dan 50 kamar. Istana itu juga berkubah emas dan aulanya yang luas berkilau seperti kaca. Selain membangun Nowshader, ia juga membangun kota Zainapur, Zainakut, dan Zainagir. Sultan pula yang pertama kali membangun jembatan kayu di Srinagar yang kini dikenal sebagai Zainakadal.























Arsitektur Islam : Antara Simbolisme dan Manifestasi Nilai
Belajar dari Ritual Haji
Sebelum masuk pada permasalahan yang ada dalam arsitektur Islam berkaitan dengan tajuk diatas, terlebih dahulu saya ingin memberikan ilustrasi sebagai penyadaran kondisi yang terjadi di dunia Islam saat ini, berkaitan dengan ironi, paradoks dan ketidak seimbangan yang seharusnya disadari dan mulai untuk membuat perbaikan. Pada dasarnya makalah ini merupakan kajian kritis terhadap arsitektur Islam melalui pendekatan normatif dalam konteks Islam yang sebenarnya, merujuk pada sumber hukum Islam Al Qur’an dan Hadits. Ilustrasi berikut diharapkan mampu menjadi bahan renungan yang kemudian dengan dasar pemikiran yang sama membawanya ke dalam konteks arsitektur Islam.
Ketika umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di tanah haram untuk melaksanakan rukun Islam ke lima, mereka membawa bekal yang sama dari latar belakang yang berbeda. Dari budaya, ras, bahasa, dan status sosial yang berbeda dengan kesamaan keyakinan, aturan pelaksanaan ibadah, tujuan serta interpretasi terhadap setiap prosesi yang semestinya juga sama. Yang pertama terlintas dibenak adalah tampilnya universalitas Islam yang merangkul seluruh perbedaan dan keragaman yang ada, haji menjadi simbol bersatunya seluruh umat Islam. Lebih jauh lagi dalam ibadah haji akan kita dapati dimensi simbolis di setiap prosesi ibadah yang patut direnungkan dan dihayati untuk meraih kesadaran religius dengan harapan ada perubahan menuju nilai diri yang lebih baik dalam berhubungan dengan masyarakatnya maupun hubungan vertikal dengan Tuhannya. Melempar Jumrah, salah satu prosesi dalam ritual ibadah haji mengandung makna-makna simbolis yang sangat kental. Patung-patung yang dilempari dengan batu atau kerikil ini merupakan representasi (simbol) dari setan sebagai musuh utama manusia yang harus dibenci dan dimusuhi. Prosesi ini adalah tiruan atau rekonstruksi kisah Ibrahim seperti diceritakan di dalam kitab suci Al Qur’an. Simbolisme yang ada di dalam ibadah haji atau ibadah lainnya tentu tidak hanya untuk dimengerti, tetapi ada tugas yang harus dilaksanakan sebagai tindak lanjut dari pemahaman tersebut disamping peningkatan nilai spiritualitas seorang muslim. Namun ketika diajukan pertanyaan, mana yang lebih penting atau harus didahulukan antara pemahaman terhadap simbol/penciptaan simbol atau secara umum dikatakan simbolisme dengan manifestasi dari nilai-nilai yang diantaranya juga terkandung dalam simbolisme itu sendiri, maka seharusnya setiap pemeluk Islam setuju mengatakan bahwa manifestasi nilai lebih penting atau didahulukan daripada simbolisme. Mana yang lebih utama antara melempar jumrah serta memahami maknanya dengan implementasi menjauhi perbuatan yang disukai setan, maka tentu pernyataan yang kedualah yang dipilih. Pertanyaan ini bukan dimaksudkan untuk mempertentangkan atau usaha untuk mengabaikan yang satu untuh meraih yang lainnya, karena memang keduanya (simbolisme dan manifestasi nilai) saling komplemen dan tidak seluruh simbol berkaitan dengan manifestasi nilai. Tetapi di dalam keseluruhan sikap berkehidupan seorang muslim, satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan karena pada hakekatnya Islam merupakan keterpaduan yang holistik dari bagian-bagian detil aturan atau syariah Islam. Sementara itu kita sering menjumpai ironi dimana hanya untuk mengejar nilai-nilai simbolis atau dengan kata lain meraih derajat simbolisme yang tinggi, banyak hal-hal yang berkaitan dengan manifestasi dari nilai yang diajarkan dalam syariah Islam atau bahkan manifestasi yang dituntut dari simbol tadi terabaikan. Bagaimana pendapat anda jika seorang muslim melaksanakan haji dua atau tiga kali sementara tetangganya dibiarkan dalam keadaan kekurangan. Di satu sisi ibadah haji memang wajib bagi muslim yang mampu, tetapi apabila hanya menjadi bentuk seimbolisme di dalam masyarakat (dengan dua atau tiga kali haji) dan mengabaikan manifestasi nilai Islami untuk menyantuni fakir miskin maka gelar haji yang dimilikinya adalah sebuah kesia-siaan dan apa yang diajarkan melalui simbolisme dalam ritual haji juga tanpa implementasi.
Ritual yang berkaitan dengan peribadatan memang sangat kental dengan simbolisme, tidak hanya dalam haji saja tetapi juga dalam ibadah yang lain seperti sholat, puasa bahkan di dalam berdoa. Simbol juga ada dalam hubungan kita bermasyarakat, menjalani hidup dan berkarya termasuk di dalam ber-arsitektur juga mengandung muatan-muatan simbolis. Apa yang tertulis di dalam kitab suci Al Qur’an pun tidak lepas dari simbolisme melalui bahasa dan gaya bahasa yang ada dalam ayat-ayatnya, sangat wajar apabila kemudian terdapat beberapa perbedaan interpretasi diantara ahli tafsir. Ini membuktikan bahwa simbolisme memang di ajarkan dalam Islam melalui Rasulnya, disamping manusia sendiri juga belajar tentang simbol dari alam dan memiliki kebebasan menciptakan simbolnya sendiri. Demikian juga di dalam karya-karya arsitektur, seorang arsitek memiliki kebebasan mencipta dan mengolah simbol melalui bentuk, warna dan komposisi. Apa yang bisa kita petik dari ilustrasi di atas adalah tuntutan terhadap usaha untuk meraih nilai simbolisme tanpa mengabaikan manifestasi dari nilai-nilai Islam yang lebih penting sehingga tidak ada ketimpangan atau memunculkan ironi apalagi kontradiksi antara simbol dan manifestasinya. Demikian pula dalam penciptaan karya arsitektur Islam.
Simbolisme dan Religiusitas
Simbolisme telah ada sejak lama, bahkan pada masa pra sejarah manusia telah menggunakan simbol. Orang berbicara atau menulis untuk mengekspresikan makna dari apa yang ingin diungkapkannya, bahasa yang digunakannya penuh dengan simbol. Simbol memiliki sejarahnya tersendiri, material yang digunakan juga berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya, makna dari simbolpun tak selalu sama. Sejarah simbolisme menunjukkan bahwa segala sesuatu dapat digunakan untuk merepresentasikan makna simbolis, dari obyek-obyek alam (batu, pohon, binatang, gunung dan lain-lain), atau obyek buatan manusia (seperti rumah, kendaraan), atau bahkan bentuk abstrak (seperti angka, segitiga, lingkaran dan lain-lain), pendeknya seluruh yang ada di alalm raya ini memiliki potensi simbolis. Kajian tentang simbol ini berkaitan erat dengan psikologi tentang kesadaran dan alam bawah sadar, juga bidang antropologi yang mengungkapkan bagaimana masyarakat bersepakat tentang simbol, tentang makna, komunikasi, ekspresi dan bagaimana berinteraksi dengan alam lingkungannya melalui simbol. Simbol, secara umum dapat diartikan sebagai sesuatu yang hadir untuk mewakili sesuatu yang lain, obyek dari simbolisasi meningkatkan nilai pentingnya dari apa yang disimbolkan. Di dalam masyarakat banyak hal yang mungkin penting, dan kita dapat mengharapkan bahwa dalam dukungan sosial hal ini akan ditandai oleh simbol yang memusatkan perhatiannya atas hal tersebut dan mungkin juga mengindikasikan jenis kepentingan yang berproses. Simbolisme ini dapat diperdebatkan untuk menjadi penting bagi pengarahan kehidupan sosial bahkan di dalam praktik budaya yang deterministik. Rodney menjelaskan pentingnya simbolisme : “............ Simbolisme mengandung dua hal yang penting yakni : untuk menandai apa yang secara sosial penting dan untuk mempengaruhi orang agar menyesuaikan di dalam pengenalan nilai-nilai dengan apa seharusnya ia hidup. “1 Simbolisme menjadi sangat penting berkaitan dengan kehidupan sosial dan perannya menyampaikan pesan-pesan nilai kehidupan. Dan didalam kaitannya dengan ritual kehidupan, Hocart menjelaskan bahwa : partisipan dalam ritual menelusuri untuk menetapkan sebuah identitas antara manusia dan obyek ritual, antara obyek ritual dan dunia, dan juga antara manusia dan dunia, suatu bentuk kreativitas silogisme2. Penjelasan Hocart ini menunjukkan bahwa simbolisme melibatkan partisipan, obyek ritual dan penetapan sebuah identitas yang menghubungkan antara manusia, obyek ritual dan dunia (alam). Dalam konteks arsitektur sebagai sebuah obyek ritual, ia merepresentasikan identitas-identitas simbolis yang menghubungkannya dengan pengamat (manusia) dan alamnya. Makna simbol dikonstruksikan oleh masyarakat pendukungnya, melalui transformasi material, teknologi, metode, skill dan sumber daya kreator. Simbol dengan karakternya yang berbeda-beda sangat spesifik dipengaruhi oleh budaya, religi, etika dan estetika yang ada dalam masyarakatnya. Berkaitan dengan kesadaran religius yang mempengaruhi simbolisme, M.-L.von Franz membagi manusia ke dalam tiga tipe :
• Mereka yang masih percaya dengan doktrin agama mereka. Bagi masyarakat seperti ini, simbol dan doktrin bertemu tepat dengan apa yang mereka rasakan dalam diri mereka sehingga sebuah keraguan tentang simbol itu tidak memiliki kesempatan untuk menyusup.
• Tipe yang ke dua terdiri dari orang-orang yang telah benar-benar kehilangan keyakinan mereka dan telah menggantikannya dengan kesadaran murni dan pendapat-pendapat rasional
• Tipe ketiga adalah orang-orang yang di satu bagian dalam diri mereka (mungkin pikiran mereka ) tidak lagi percaya dengan tradisi agama mereka, sementara disisi lain mereka masih mempercayainya. 3
Dengan penjelasan Franz di atas, dan seperti kita tahu bahwa masyarakat bersifat dinamis, maka simbolisme juga mengalami dinamisasi. Perubahan masyarakat sangat mungkin terjadi ke dalam tiga tipe diatas sehingga apresiasi, persepsi dan interpretasi terhadap simbol juga sangat mungkin berubah dari waktu ke waktu dan sangat mungkin sebuah simbol tidak lagi memiliki arti dan tidak penting lagi bagi masyarakatnya. Religi yang harus mempertahankan kondisi masyarakat pada tipe satu menuntut simbolisme yang mampu beradaptasi sehingga doktrin agama yang dibawanya dapat tetap sesuai dengan apa yang dirasakan masyarakat pendukungnya. Jika demikian maka pemilik otoritas pencipta simbol harus mempertimbangkan apakah sebuah simbol perlu dipertahankan, diubah atau dihilangkan karena ada hal yang lain yang lebih penting untuk mempertahankan religiusitas sebuah agama. Hal ini menjadi tugas seorang arsitek bagaimana seharusnya simbolisme berbicara dalam arsitektur Islam. Bagaimana simbol bekerja sangat tergantung bagaimana arsitek mampu mentransformasikan materi simbol menjadi bentuk-bentuk simbolis melalui pengolahan bentuk, warna dan komposisi, juga kemampuan arsitek membaca perubahan masyarakat dalam mengapresiasi simbol yang sangat dipengaruhi budaya yang berkembang, etika yang berlaku dan bagaimana sikap masyarakat terhadap religi yang dianutnya (dalam hal ini Islam). Simbol yang sengaja dibuat dalam bentuk atau dari materi apapun akan percuma apabila tidak mampu menggugah rasa spiritualitas atau menyampaikan pesan yang dimaksudkan (pesan religi), ia hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan, sementara hal lain yang lebih penting berkaitan dengan manifestasi nilai religius atau fungsi-fungsi aktivitas untuk mendukung syiar religius terabaikan. Maka dari itu konsep perancangan arsitektur Islam seharusnya mempertimbangkan kembali nilai holistik ajaran Islam dengan melakukan kajian mendalam yang mengaitkan seluruh aspek kehidupan masyarakat muslim setempat karena nilai religius tidak dapat dicapai dengan mengandalkan simbolisme untuk meraih derajat spritualitas tetapi harus melibatkan seluruh aspek kehidupan seperti yang diajarkan Nabi Muhammad. Dengan pertimbangan nilai holistik Islam dan tuntutan kaafah4 dalam memeluk agama Islam, maka dikotomi arsitektur Islam ke dalam arsitektur religius dan non religius sangat tidak tepat karena perilaku religius tidak hanya dituntut di dalam ruang arsitektur religius dan simbolisme religiuspun tidak hanya ada di arsitektur religius. Seperti disebutkan dalam Al Qur’an tentang totalitas tersebut :
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya (kaafah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS : 2 : 208)
Dikotomi arsitektur Islam justru melemahkan nilai holistik ajaran Islam. Islam tidak memisahkan antara kehidupan beragama dan aktivitas lain seperti sekulerisme yang saat ini melanda dunia Islam. Dalam ajaran Islam seluruh aktivitas seorang muslim adalah ibadah dan karenanya simbolisme yang berusaha diwujudkan dalam arsitektur Islam tidak boleh mengabaikan dan menghalangi apalagi mengorbankan jalan manifestasi ajaran Islam yang lebih nyata daripada sekadar simbolisme.
Beban Simbolisme Arsitektur Islam
Arsitektur Islam selama ini dipahami sebagai arsitektur yang dibangun oleh masyarakat muslim dan/atau untuk kepentingan kaum muslimin yang secara spesifik ternyata melahirkan bentuk-bentuk yang memiliki karakternya sendiri sebagai cerminan komunitas muslim. Konsentrasi arsitektur pada masa awal perkembangan Islam memang cenderung bernuansa teosentrisme sehingga melahirkan arsitektur yang sangat megah berupa masjid, istana, makam atau benteng seperti halnya arsitektur Gothik yang memunculkan gereja-gereja tinggi menjulang. Pesan-pesan melalui simbol sangat dominan terdapat hampir pada setiap elemen bangunan ataupun bangunan itu sendiri juga merupakan simbol atas sesuatu. Vertikalisme dalam arsitektur menghasilkan bangunan-bangunan masjid yang megah dan tinggi menjadi cermin bagaimana kondisi religius pada masa itu.
Arsitektur dapat dipandang sebagai sebuah aksi sosial dan tak dapat dipisahkan dari pandangan budaya sebagai skema besar dimana ia ada di dalamnya. Gulzar Haider berpendapat tentang arsitektur dan struktur kepercayaan atau religi sebagai berikut : “Sebuah bangunan dapat menggambarkan visi masa depannya atau mencerminkan sebuah tradisi asing, atau ia bahkan dapat mendeklarasikan sebuah pemberontakan terhadap milieu, tapi kota secara keseluruhan, arsitektural kolektif akan menjadi bagian dari masyarakat, tak dapat berbohong tentang struktur kepercayaan yang mempertahankannya.”5 Dalam sejarahnya terlihat bahwa arsitektur Islam tidak dapat lepas dari gagasan struktur kosmologi, etika, estetika, politik, sosiologi dan ekonomi dari masyarakat muslim. Simbolisme juga berkembang tidak jauh dari perkembangan konstruksi yang membentuknya. Jika sebuah tempat tinggal mencerminkan pribadi pemiliknya, dan sebuah kota adalah landscape dari kekuatan kolektif tak terlihat dari masyarakat penghuninya yang membentuk karakter sebuah kota, maka simbolisme adalah memori kolektif yang ada dalam masyarakat yang berubah seiring perubahan masyarakat itu sendiri. Perjalanan sejarah simbolisme dalam arsitektur Islam tidak lepas dari sejarah penyebaran Islam (da’wah Islam), konstruksi budaya dalam masyarakat serta perubahan kekuatan politik selama penyebaran Islam. Jika kita kaji secara sinkronis, maka simbol bukan hanya ada dalam arsitektur sebagai elemen bermakna yang ditambahkan, tetapi arsitektur itu sendiri dapat menyimbolkan sesuatu dilatarbelakangi sebuah agenda dan motivasi tertentu. Arsitektur istana dan benteng jelas sekali menjadi simbol bagaimana kekuatan politik dan militer di sebuah negara, demikian pula dengan masjid sebagai salah satu bangunan Islam sangat erat hubungannya dengan kekuasaan dalam budaya Islam, dimana ketika sebuah dinasti Islam berdiri dan menguasai sebuah wilayah, maka didirikanlah masjid sebagai tanda dimulainya sejarah Islam di wilayah tersebut. Pemerintahan Islam memiliki perhatian besar dalam pembangunan masjid sebagai bukti loyalitas penguasanya terhadap perkembangan ajaran Islam. Berbeda dengan suku-suku bangsa non muslim yang pada masa imperialisme kolonialisme menandai kekuasaannya dengan mendirikan benteng pertahanan atau Istana sebagai pusat pemerintahan.“ Kekuasaan dan kekayaan suatu negara Islam terpantul dari wujud bangunan masjid, faktor selera penguasa tampak pula pada wujud bangunan masjid tersebut yang dibangun atas prakarsanya. Hal ini mungkin terjadi dalam kejadian sejarah Asitektur Islam, mengingat pada saat-saat Islam telah sedemikian maju berkembang faktor pendukung untuk memungkinkan pembuatan masjid secara besar-besaran telah tersedia”.6 Hal inilah mengapa bisa dikatakan mempelajari arsitektur masjid berarti mempelajari kekuasaan Islam. Namun perlu diingatkan hal ini bukan berarti bahwa Islam disebarkan melalui kekuasaan senjata atau kolonialisasi dan imperialisasi ala barat seperti pandangan kaum orientalis. Megahnya masjid pada masa kekuasaan Islam membuktikan besarnya perhatian penguasa terhadap penyebaran agama Islam. Simbolisme kekuasaan melalui arsitektur Islam tercermin dalam sejarah masjid di Iran, dimana setiap pergantian kekuasaan, arsitektur masjid mengalami perubahan dengan masuknya pengaruh dari pusat kekuasaan diawali masuknya dinasti Abasiyah dari Arab, Umayah hingga Qajar dari Turki, masing-masing berusaha meninggalkan jejak kekuasaannya melalui peninggalan masjid yang megah. Apabila kita mengkaji arsitektur Taj Mahal di India, ia dapat dipandang sebagai sebuah ekspresi kekuasaan dari seorang raja, arsitektur yang mirip dengan masjid ini adalah kuburan monumental yang tidak mungkin hadir pada masa hidup nabi dan para sahabat karena kemegahannya sangat tidak merepresentasikan nilai Islam yang sesungguhnya.





Taj Mahal, Agra India, Makam permaisuri Sultan Shah Jahan. Ekspresi kekuasaan atau manifestasi nilai Islam?
(Foto : http://www.greadbuildings.com)
Penyebaran Islam di Indonesia memiliki karakteristik yang sangat khas dengan nuansa simbolisme yang sangat kental melalui media budaya diawali dengan perdagangan di wilayah-wilayah pesisir. Akulturasi terjadi di dalam kebudayaan tradisional di Indonesia, antara kebudayaan Hindu, Budha yang telah lebih dahulu masuk ke Indonesia dengan budaya Islam. Media dakwah seperti wayang, drama tradisional dan tembang menjadi media yang ampuh dalam penyebaran Islam, termasuk melalui arsitektur yang pada awalnya kental dengan nuansa Hindu berubah menjadi simbol-simbol dengan filosofi Islam tanpa meninggalkan bentuk-bentuk dasarnya. Misalnya di pulau Jawa, terutama pada masa-masa awal masukya Islam, bentuk-bentuk masjid masih menggunakan gaya arsitektur tradisional yang cenderung bernuansa Hinduisme seperti penggunaan atap tajuk, pemakain mustaka pada puncak atapnya. Bahkan menara masjid Kudus sangat mirip dengan bentuk candi Hindu. Elemen-elemen pada masjid terutama pada masjid tradisional memiliki makna-makna tertentu yang menjadi sebuah simbol dengan filosofi berdimensi spiritual.




Gerbang dan pagar masjid Cirebon, batas dunia sacred dan dunia profane.
Beberapa masjid tradisional memiliki pagar yang mengelilingi lingkungan masjid, seperti masjid Demak, Kudus dan Jepara, pagar ini merupakan simbolisasi batas pemisah antara dunia maya dan dunia nyata, atau alam sakral yang ada di dalam dan profan yang ada di luar pagar.7 Elemen masjid lainnya adalah menara, atap, mustaka pada puncak atap, mimbar dan mihrab biasanya memiliki maknanya masing-masing. Pada beberapa masjid kadang juga memiliki pendopo yang berada di depan masjid (serambi masjid) sebagai simbol transisi antara wilayah sakral di dalam ruangan utama masjid dan wilayah profan di luar ruang utama masjid. Dari segi bentuk bangunannya juga demikian memberi makna antara vertikalisme dalam ruang utama masjid dan horisontalisme di bagian pendopo. Pada perkembangan selanjutnya setelah masuknya bentuk dome, simbol baru untuk alam semesta masuk bersamaan kosmologi Islam. Elemen-elemen arsitektural lain dengan makna simbolisnya juga masuk ke dalam arsitektur Islam nusantara menambah berat simbolisme dalam arsitektur yang satu ini. Simbolisme pada arsitektur bernuansa Hindu terlihat pada rumah-rumah trasdisional Jawa dari bentuk arsitekturalnya hingga dalam pembagian ruang-ruangnya. Simbolisme Islam masuk ke dalam arsitektur dengan mengubah pemaknaanya yang terutama digunakan dalam masjid tanpa banyak perubahan bentuk simbolnya. Hal ini dapat di lihat pada arsitektur masjid Agung KratonYogyakarta. Beban simbolisme ini terkadang justru cenderung mengekang kebebasan berkarya pada masa itu dan membuat masjid menjadi terlalu sakral untuk digunakan menampung aktivitas lain diluar sholat.
Masuknya Islam ke Indonesia juga berkaitan dengan kekuasaan raja-raja sehingga menghasilkan bangunan masjid yang cukup megah pada jamannya, terlihat juga pada umumnya sebuah kerajaan Islam memiliki keraton yang berdampingan dengan masjid. Keberadaan masjid besar (masjid Jami’) di dukung oleh keberadaan alun-alun di depannya menjadi ciri khas sebuah pusat kota terutama di Jawa, dan biasanya terdapat sebuah kawasan muslim yang diberi nama Kauman yang memiliki karakter lingkungan bernuansa Islam. Sehingga lengkap sudah simbolisasi kekuasaan muslim pada sebuah kota. Namun sangat disayangkan arsitektur Islam masih sangat terbatas hanya dipakai pada bangunan-bangunan peribadatan berupa masjid, mushola (yang sampai saat ini pun masih demikian), tidak diaplikasikan pada rumah tinggal atau bangunan fungsional lainnya, apalagi dari sisi syariahnya. Rumah, paling jelas dapat diidentifikasi sebagai tempat tinggal milik muslim ketika di jumpai ada kaligrafi sebagai dekorasi rumahnya dan sangat sedikit sekali yang menerapkan konsep-konsep Islam yang sebenarnya tentang rumah tinggal. Apa yang terlihat saat ini terutama di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam adalah kecenderungan untuk lebih mengutamakan simbolisme (oleh arsiteknya) daripada manifestasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupannya. Memang salah satu keberhasilan dakwah Islam di Indonesia adalah peran simbolisme yang mampu merasuk ke dalam kesadaran spiritualitas masyarakat Indonesia, terutama di Jawa yang memiliki falsafah kehidupan yang sangat kental dengan simbolisme. Mempertimbangkan perubahan yang sangat cepat dalam masyarakat, merujuk pada penjelasan Franz diatas, kekuatan simbolisme saat ini perlu dipertanyakan kembali untuk mencari solusi simbol yang sesuai, ataukah mungkin masyarakat muslim sendiri sebenarnya telah tidak peduli dengan simbolisme religius. Sementara masyarakat sangat membutuhkan solusi-solusi atas permasalahan yang lebih mendesak, krisis sosial, ekonomi dan krisis lunturnya nilai-nilai religius itu sendiri, jika demikian masih begitu pentingkah simbolisme jika dibandingkan dengan usaha untuk mengimplementasikan ajaran Islam ? Sementara sumber daya, energi masyarakat dan perhatian pemerintah lebih ditekankan pada nilai-nilai simbolisme atau pada hal-hal fisik semata. Arsitektur Masjid, sampai saat ini belum dikembangkan pada fungsinya untuk mendukung pemberdayaan umat Islam atau masyarakat pada umumnya terutama strata sosial bawah, kalaupun ada masih bersifat temporal dan hanya mampu menyentuh segolongan masyarakat tertentu.





Sekitar masjid Agung, Bandung (dalam pembangunan)
Potret masyarakat muslim dengan latar belakang simbolisme.
Lemahnya Manifestasi Nilai : Kebutuhan Paradigma Baru Arsitektur Islam
Apa yang disebut sebagai arsitektur Islam (Architecture of Islam) dalam buku-buku sejarah dan arsitektur, seperti juga yang saya deskripsikan diatas adalah gambaran arsitektur yang hanya berbasis pada komunitas, yakni masyarakat muslim. Harus dibedakan dengan tegas dari arsitektur Islami (Islamic Architecture) yang berbasis ajaran pada holistik Islam. Apapun obyek arsitekturnya, oleh siapapun dibangun dan untuk siapapun ia dibangun, apabila melandaskan pada konsep-konsep Islam, maka ia dapat dikatakan arsitektur yang Islami (Islamic Architecture). Arsitekture Islami tidak terikat oleh ruang dan waktu, tidak mengenal kesukuan dan tidak terikat pada periode tertentu, bahkan pada fungsi tertentu saja. Dengan demikian arsitektur Islami tidak hanya berupa masjid, makam atau yang disebut sebagai arsitektur religius saja, ia bisa saja berupa rumah tinggal, sekolah, taman, perkantoran atau apapun yang dibangun atas dasar manifestasi nilai Islam. Seperti yang dijelaskan Sardar (1987) yang melihat bahwa: apa yang dianggap Islami dalam arsitektur dan lingkungan Islami adalah suasana yang mereka ciptakan: suatu suasana yang mendorong ingatan kepada Allah, memotivasi perilaku yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah dan menganjurkan nilai-nilai yang melekat dalam acuan-acuan kunci Al Quran……..”8 Konsep holistik Islam menuntut kajian mendalam menyeluruh dari berbagai konteks, ekonomi, sosial, budaya, politik maupun lingkungan untuk kemudian dijadikan dasar pertimbangan merancang. Dengan demikian arsitektur bukan lagi sebuah karya yang hanya bisa dinikmati karena kemegahan atau keindahannya saja, tetapi yang lebih penting adalah mampu menjadi solusi bagi masalah-masalah lingkungan binaan secara utuh. Arsitektur Islam yang tidak peka terhadap konteks diluar agama (hubungan vertical) merupakan bentuk sekulerisme yang melemahkan ajaran Islam dan justru akan menghambat perkembangan masyarakat muslim.
Aktivitas Aga Khan dalam bidang arsitektur melalui Aga Khan Award for Architecture (AKAA) merupakan angin segar bagi tumbuhnya paradigma baru arsitektur Islam. Hal ini dapat dilihat dari kriteria penilaian yang sangat plural dan kaya dengan gagasan baru dalam menilai karya arsitektur. Kajian berupa diskusi diantara para juri membangun paradigma baru bagi arsitektur Islam yang melibatkan berbagai pertimbangan menyeluruh dari aspek sosial, budaya, lingkungan, ekonomi dan politik. Penghargaan terhadap proyek-proyek baru ataupun berkonteks sejarah yang bukan saja diberikan pada arsitektur megah mencerminkan pandangan pascakolonial untuk mengangkat permasalahan masyarakat bawah.
Beberapa penghargaan dari AKAA diterima Indonesia pada beberapa proyek revitalisasi kawasan, seperti kampung Kali Co-de Yogyakarta karya Romo Mangun, kampung Kebalen di Surabaya disamping juga penghargaan terhadap arsitektur masjid yang berwawasan lingkungan seperti proyek masjid Said Naum Jakarta. Namun beberapa kelemahan dalam penghargaan ini adalah belum adanya usaha serius untuk merujuk sumber ajaran Islam sebagai bahan penilain untuk menghasilkan apa yang disebut sebagai arsitektur yang Islami (Islamic Architecture). Namun beberapa pemikir Islam yang terlibat di dalam AKAA pun tampak mulai menawarkan gagasan kembalinya arsitektur kepada manifestasi nilai-nilai Islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Hadits, seperti Ismail Serageldin yang mendeskripsikan usulannya dalam pemecahan masalah lingkungan binaan dengan merujuk pada Qur’an, dan sunnah Rasul serta kajian terhadap sejarah masyarakat muslim pada masa kejayaannya sebagai sebuah model. Ia juga menjelaskan beberapa prinsip-prinsip umum yang sangat mendasar tentang bagaimana seharusnya membangun menurut kaidah Islam.9
Perkembangan dunia yang menuju pada universalitas dan nilai-nilai global sangat berpengaruh pada arsitektur Islam di Indonesia, hal ini terlihat dari berkembangnya arsitektur masjid yang banyak menggunakan idiom-idiom arsitektur Timur Tengah dengan pemakaian kubah dan bentuk-bentuk lengkung, tapi di sisi lain ada usaha untuk mencoba menggali nilai-nilai lokal tradisional yang lebih peka pada karakter budaya setempat.




Masjid Said Naum Jakarta, Indonesia penerima AKAA Honourable Mention. Putaran ke 3 , (1984-1986)
(Foto, http://www.akdn.org) Kampung Kali Co-de, Yogyakarta Indonesia, penerima AKAA putaran ke 5 (1990-1992)
(Foto, http://www.akdn.org)
Keduanya mengandung potensi bagi beban simbolisme yang berat dalam arsitektur Islam. Yang lebih penting dari sekadar bentuk, muatan local/asing, simbolisme atau apapun konsep yang ingin diterapkan dalam arsitektur Islam adalah universalitas dan semangat global untuk kembali merujuk kaidah-kaidah Islam yang bersumber dari Al Qur,an dan Sunnah Rasul sebagai solusi menyeluruh permasalahan lingkungan binaan.
















Daftar Pustaka :
1. Needham, Rodney (1979), Symbolic Clasification. Goodyear Publishing Co.Inc.
2. Jung, Carl G (1964), Man and His Symbols. London : Aduls Book Ltd.
3. Haider, Gulzar (1988) dalam Theories and Principles of Design in the Architecture of Islamic Societies, Cambridge, Massachusetts : The Aga Khan Program for Islamic Architecture.
4. Rochym, Abdul (1983), Sejarah Arsitektur Islam, Sebuah Tinjauan. Penerbit Angkasa Bandung.
5. Masjid 2000 CD Interaktif, Masjid di Jawa.
6. Serageldin, Ismail (1944), Space for Freedom. Aga Khan Award for Architecture
7. http://www.akdn.org/
8. http://www.greadbuildings.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar